Ki Rebo

(Cerita Rakyat Daerah Tangerang, Banten)

Alkisah, pada zaman penjajahan Belanda di sebuah dusun di Distrik Paroong atau Pemulang ada seorang tokoh masyarakat yang sangat disegani. Konon dia adalah salah seorang pembesar dari Kerajaan Banten yang datang ke Pemulang dengan suatu misi khusus. Masyarakat setempat memanggilnya sebagai Ki Rebo.

Bagi masyarakat Pemulang Ki Rebo dianggap sebagai jawara tangguh yang sakti mandraguna. Banyak perampok alias begal atau centeng-centeng bayaran tuan tanah yang takluk bila berhadapan dengannya. Para perampok yang ditaklukkan oleh Ki Rebo umumnya beroperasi di sepanjang jalan dari Batavia menuju Gunung Salak.

Berkat kesaktian inilah namanya menjadi sangat tenar sehingga Regent Paroong mengangkatnya menjadi Bek Kampung Pemulang. Adapun tugasnya adalah sebagai penarik pajak masyarakat yang nantinya akan diserahkan kepada pemerintah.

Dalam menjalankan tugas, Ki Rebo tidak berlaku sama seperti bek-bek kampung lain di sekitar Batavia yang sering menggunakan pendekatan represif kepada masyarakat. Ki Rebo lebih memilih jalan persuasif dan berlaku arif bijaksana. Dia hanya menarik pajak berupa uang pada tanah-tanah partikelir dan masyarakat kaya yang memiliki lahan sangat luas. Sementara rakyat kecil hanya diwajibkan menyetor sebagian dari hasil bumi yang mereka hasilkan.

Begitu seterusnya hingga Ki Rebo menjadi gusar sendiri tatkala melihat pajak hasil bumi yang ditimbun di lumbung depan rumahnya semakin menipis setiap hari. Dia curiga ada seseorang atau sekawanan orang yang secara diam-diam menjarah hasil bumi tersebut. Mereka kemungkinan datang malam hari ketika dirinya sedang tertidur lelap.

Untuk mengobati rasa penasarannya, Ki Rebo memutuskan melakukan pengintaian di malam hari. Dan benar saja, tepat tengah malam dia mendengar ada langkah-langkah kaki menuju lumbung. Ternyata ada dua orang sedang mengendap-endap mencari lubang di sisi lumbung. Mereka mengenakan topeng dari kain sarung sehingga yang terlihat hanya bagian matanya saja. Tindak pencurian ini hanya disaksikan dan dibiarkan saja oleh Ki Rebo.

Esok harinya Ki Rebo baru beraksi dengan membawa air dalam ember kemudian memantrainya. Selanjutnya air yang telah dimantrai dipercikkan di hampir setiap dinding lumbung. Tujuannya adalah agar hasil bumi di dalam lumbung terlindung dari mara bahaya dan hal-hal yang tidak diinginkan.

Ketika malam tiba, kedua orang pencuri kembali melakukan aksinya. Secara mengendap-endap mereka menuju lubung mencari padi yang masih tersisa. Kondisi ini dibiarkan saja oleh Ki Rebo. Dia malah beranjak ke peraduan hingga menjelang subuh seakan tidak peduli kalau padi di lumbung akan semakin menipis.

Ajaibnya, saat karung yang dibawa telah penuh terisi padi mereka tidak dapat keluar dari lumbung. Dalam pandangan kedua pencuri itu pada bagian luar lumbung telah dikepung air yang luas menyerupai sebuah danau. Tidak ada jalan keluar selain berenang menuju tepian yang entah di mana letaknya.

Tetapi karena keadaan air yang semakin naik mereka akhirnya memutuskan juga untuk berenang. Hasil curian berupa dua karung padi ditinggalkan begitu saja. Mereka melompat dari pintu lumbung menuju daratan yang dalam pandangan sudah tidak terlihat lagi.

Namun, setelah sekian lama berenang belum juga sampai ke tepian. Tenaga pun sudah terkuras dan hanya menyisakan sedikit untuk dapat tetap terapung di air. Dan ketika keduanya merasa sudah hampir tenggelam tiba-tiba tepukan tangan Ki Rebo menyadarkannya.

Keduanya seakan linglung dan tidak tahu harus berbuat apa. Air yang sangat luas dan seakan tidak bertepi tiba-tiba hilang dari pandangan. Mereka hanya berada tidak jauh dari pintu lumbung yang tadi malam seakan mulai tergenang dan akan tenggelam.

Sadar bahwa hal itu hanyalah ilusi buatan oleh Ki Rebo, mereka kemudian bersujud dan memohon ampun dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Keduanya tidak berani berdiri sebelum Ki Rebo menepuk pundak dan memerintahkan masuk ke dalam rumah untuk disuguhi kopi dan singkong rebus sarapan pagi.

Sambil menikmati gurihnya singkong dan menyeruput kopi manis Ki Rebo membuka pembicaraan dengan menanyakan maksud keduanya mencuri padi di lumbung. Padahal mereka juga tahu kalau lumbung merupakan bagian dari persediaan warga apabila suatu saat dilanda paceklik.

Salah seorang di antaranya menjawab bahwa penarikan pajak oleh Belanda di wilayah kampung mereka terlampau tinggi. Selain itu, kerja paksa bagi yang tidak dapat membayar pajak mengakibatkan banyak orang terserang penyakit. Akibatnya banyak di antara mereka mati baik karena kelaparan maupun penyakit. Oleh karena itu, mereka terpaksa mencuri agar dapat menyambung hidup.

Pengakuan pencuri tadi membuat hati Ki Rebo menjadi iba. Dia lalu mempersilahkan keduanya menuju dapur dan diperkenankan mengambil hasil bumi yang mereka butuhkan berupa tujuh ikat padi yang berada di bagian atas tungku dapur. Ki Rebo berpesan bahwa tujuh ikat padi tersebut dibagikan kepada warga yang kelaparan, sedangkan sisanya boleh mereka bawa pulang ke rumah.

Usai menerima padi pemberian Ki Rebo mereka kemudian pamit kembali ke rumah. Dan, sejak saat itu mereka bertobat tidak pernah mencuri lagi.

Asal Mula Kampung dan Makam Keramat Panjang

(Cerita Rakyat Daerah Tangerang, Banten)

Di Jalan Cituis, Kelurahan Keramat, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, ada sebuah makam keramat. Penduduk setempat menamainya sebagai Makam Keramat Panjang sebab berukuran panjang sembilan meter dan lebar satu setengah meter. Ia dikeramatkan dan diziarahi banyak orang karena dianggap membawa karomah bagi keberkahan hidup.

Ada beberapa versi cerita yang berkembang di kalangan masyarakat Pakuhaji mengenai orang yang makamnya dikeramatkan itu. Versi pertama mengatakan bahwa jasad yang dimakamkan bernama Al-Habib Abdullah bin Ali Al-Uraidhi dari Hadramaut, Yaman Selatan.Nama ini terpampang di atas pintu masjid bersebelahan dengan Keramat Panjang. Al-Habib Abdullah bin Ali Al-Uraidhi dipercaya memiliki nasab (silsilah) keturunan langsung Nabi Muhammad SAW garis Sayyidina Husein.

Sang Habib bersama istri (Aminah Khan) datang ke wilayah Pakuhaji setelah menyebarkan ajaran Islam di Aceh, Palembang, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Keduanya berlabuh di sekitar Pantai Pakuhaji untuk memperbaiki perahu yang mengalami kerusakan. Di sela-sela perbaikan perahu Al-Habib rupanya menyempatkan diri mengawini gadis setempat bernama Siti Sulaiha dan memutuskan menetap hingga akhir hayatnya.

Versi kedua mengatakan pemilik jasad Keramat Panjang adalah orang Persia bernama Syekh Daud bin Ami bin Ismail. Sedangkan versi lainnya mengatakan bahwa pemilik jasad tidak pernah menyebutkan namanya. Dia berasal dari Madinah yang menyebarkan syariat Islam ke Yaman, Turki, India, dan Indonesia.

Saat hendak bersyiar Islam di tanah Jawa perahu yang ditumpanginya mengalam kerusakan berat sehingga harus berlabuh di perairan sekitar daerah Mauk. Selama masa perbaikan dia mengisi waktu dengan menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat setempat. Selesai perahu diperbaiki dia berangkat lagi menuju Palembang dan Aceh.

Berbulan-bulan kemudian, entah dari mana, tiba-tiba dia terdampar di pesisir Pantai Mauk dalam kondisi sudah tidak bernyawa. Para warga yang menemukan segera membawa jasadnya untuk dikuburkan di dekat sebuah sumur tua. Konon, karena ukuran tubuhnya yang tinggi besar, maka makam pun dibuat panjang dan lebar.

Untuk menghormati jasanya sebagai penyebar ajaran Islam, warga membangun sebuah masjid di area makam. Lambat-laun, mungkin karena air sumur disamping makam memiliki karomah tertentu yang dapat digunakan untuk lebih mendekatkan diri pada Sang Pencipta, masyarakat kemudian mengkeramatkannya. Makam itu lantas dinamai Keramat Panjang sesuai dengan ukurannya yang sangat panjang melebihi manusia pada umumnya.

Selain area makam yang diberi nama, warga sekitar juga menamai kampung tempat tinggal mereka sebagai Keramat Panjang. Adapun tujuannya juga sama, yaitu menghormati jasa Sang pensyiar agama Islam yang tidak diketahui namanya hingga akhir hayat. Sang pensyiar dianggap sebagai wali Allah yang senantiasa meneruskan perjuangan Nabi Muhammad SAW dan air sumur dijadikan sebagai bukti bahwa dirinya selalu tetap istiqomah di jalan Allah.

Saat ini, Keramat Panjang selalu didatangi peziarah khususnya pada hari Kamis dan Jumat. Mereka membacakan tahlil di depan makam sambil membuka tudung kain berwarna hijau yang membentang sepanjang sembilan meter. Selesai tahlil peziarah akan mengambil air dari sumur karomah untuk dibawa pulang sebagai berkah. (ali gufron)

Nyi Jompong

(Cerita Rakyat Daerah Banten)

Alkisah, dahulu di daerah Cibaliung ada seorang gadis gemoy nan cantik jelita bernama Nyi Jompong. Dia adalah anak tunggal dari pasangan petani miskin yang serba kekurangan. Walau tidak pernah peduli dengan kecantikan dan keindahan tubuhnya, Nyi Jompong tetap menjadi idaman bagi para pemuda di kampungnya dan bahkan kampung-kampung lain di sekitarnya.

Sebagai anak yang berbakti Nyi Jompong selalu membantu pekerjaan orang tuanya di sawah mulai dari menanam, menyiangi, hingga memanen tanaman padi. Suatu hari, entah mengapa sang ayah memintanya tetap di rumah menutu pare atau menumbuk padi menjadi beras. Alasannya, persediaan beras di rumah sudah mulai menipis dan hanya cukup untuk beberapa hari saja.

Setelah kedua orang tua pergi menuju sawah yang jaraknya relatif jauh Nyi Jompong mulai melakukan pekerjaannya. Dia memasukkan untaian padi ke dalam lesung lalu menumbuknya menggunakan alu sehingga kulit padi terkelupas menjadi butiran-butiran beras. Pekerjaan ini dilakukan di samping bangunan leuit tempat penyimpanan padi.

Saat tengah asyik menutu padi datanglah seorang pemuda bertubuh kekar menghampiri. Sang pemuda langsung saja membuka pembicaraan dengan mengatakan bahwa hatinya menjadi galau bila memikirkan Nyi Jompong. Sesuai kebiasaan masyarakat setempat, usai mencurahkan isi hati Sang pemuda yang bernama Ciriwis itu lalu memainkan seruling guna memikat hati Nyi Jompong.

Sebenarnya untuk dapat mencurahkan perasaan serta bermain seruling di hadapan Nyi Jompong tidaklah mudah. Ciriwis harus berkelahi dengan para pemuda yang antri untuk mendapatkan hati Nyi Jompong. Dan ketika ditolak, dia akan mengulangi kembali mengalahkan para pemuda pemuja Nyi Jompong dalam pertarungan.

Namun kali ini alunan merdu seruling Ciriwis tidak berlangsung lama. Di tengah asyik bermain tiba-tiba terdengar suara tongtong bertalu-talu. Suara itu menandakan bahwa kompeni Belanda tengah berada di dalam kampung dan siap untuk menarik pajak berupa hasil bumi dari setiap rumah yang didatangi.

Biasanya para serdadu yang ditugaskan tidak hanya sekadar mengambil hasil produksi pertanian saja. Mereka juga kadang iseng menggangu dengan menjamah para perempuan penghuni rumah yang dianggap gemoy dan mengundang birahi tanpa memandang bahwa mereka telah bersuami atau masih perawan.

Walhasil, setiap kali mendengar bunyi tongtong para perempuan menjadi trauma. Jeritan-jeritan ketakutan selalu terdengar apabila para serdadu memasuki rumah mereka. Nyi Jompong yang kerap mendengar perilaku kompeni Belanda tentu juga menjadi ketakutan. Dia langsung berlari masuk ke rumah meninggalkan pekerjaannya.

Sayangnya, usaha melarikan diri Nyi Jompong sempat terlihat oleh beberapa serdadu kompeni. Mereka langsung berteriak dan mengejar hingga ke depan pintu rumah Nyi Jompong yang dikunci rapat.

Saat mereka hendak mendobrak pintu rumah, tiba-tiba Ciriwis berteriak agar jangan mengganggu Nyi Jompong. Selanjutnya, dia merangsek dan memukul mereka hingga tersungkur di tanah. Tidak ada satu orang pun serdadu Kompeni yang dapat menandingi kehebatan Ciriwis dalam bertarung. Mereka kalah dan melarikan diri.

Keesokan harinya tersiarlah kabar bahwa ada seorang pemuda tewas di persawahan dengan lubang peluru bersarang di kepalanya. Orang-orang yang mendengar berita itu tentu menyimpulkan bahwa korban adalah Ciriwis. Sebab, sehari sebelumnya Ciriwis berhasil membuat serdadu Kompeni kocar kacir melarikan diri. Kemungkinan besar serdadu lainnya membalas dendam dengan menembak Ciriwis tepat di bagian kepala.

Selang beberapa hari kemudian datanglah seorang meneer berkuda mendatangi desa. Dia bertanya pada setiap penduduk mengenai keberadaan seorang gadis cantik yang ada di desa mereka. Gadis yang dia cari tidak lain adalah Nyi Jompong yang telah membuat pasukannya kocar-kacir diserang Ciriwis.

Sesuai dengan ciri-ciri fisik yang diceritakan para serdadunya, ketika bertemu Nyi Jompong Sang Meneer langsung turun dari kuda dan menemuinya. Melihat kecantikan Nyi Jompong yang luar biasa, tanpa basa-basi Sang Meneer memintanya menjadi istri. Apabila bersedia dia menjanjikan kebahagian serta kekayaan yang melimpah pada Nyi Jompong.

Permintaan itu tentu saja tidak dikabulkan oleh Nyi Jompong. Dengan nada santun, walau takut luar biasa, dia meminta Sang Meneer pergi dan jangan kembali lagi.

Walau sangat marah karena ditolak, Sang Menir hanya diam tanpa berkata apa-apa. Dia lalu naik ke atas pelana kudanya dan pergi begitu saja meninggalkan Nyi Jompong yang masih gemetar ketakutan namun berpendirian tegas.

Satu minggu setelahnya, ketika tengah mencari tutut di sawah tanpa sadar Nyi Jompong diikuti oleh Sang Meneer. Secara sembunyi-sembunyi dia membuntutinya terus dari sawah hingga Nyi Jompong mandi di tepian sungai.

Selesai mandi dan hendak pulang ke rumah tiba-tiba Sang pengintai keluar dari persembunyiannya. Sambil menunggang kuda dia membawa seutas tali tambang besar dan sebuah senapan laras panjang. Sang Meneer berusaha menculik Nyi Jompong untuk dibawa ke benteng pertahanannya.

Menyadari dirinya akan ditangkap, Nyi Jompong berlari sekencang mungkin tanpa mempedulikan barang bawaannya berupa boboko, haseupan, dan lain sebagainya yang berjatuhan entah di mana. Baginya, menghindar dari kejaraan Meneer lebih penting ketimbang peralatan pencari tutut yang dibawanya.

Sayangnya, pelarian Nyi Jompong tidak terarah dan malah menuju ke air terjun atau curug berjurang. Sampai di tepi jurang dia bingung harus melarikan diri kemana lagi sementara Sang Meneer mulai menyusul, mendekat, dan memblokir jalan keluar.

Terdesak oleh keadaan, tanpa berpikir panjang Nyi Jompong langsung menerjunkan diri ke jurang. Dia lebih memilih mati daripada kehormatan dan harga dirinya sampai ternoda oleh Sang Meneer. Apalagi, pinangan Sang Meneer bukan berdasar atas cinta melainkan hanya nafsu belaka. Dia takut apabila diterima, maka hanya sebagai pelampiasan nafsu saja. Ketika sudah mencapai titik bosan kemungkinan besar Sang Meneer akan mencari gadis gemoy yang baru lagi.

Akibatnya, tubuh Nyi Jompong terbentur bebatuan jurang berkali-kali hingga hancur terpisah-pisah. Nyi Jompong tewas secara mengenaskan di bebatuan terjal sekitar curuk. Konon, salah satu serpihan tubuh yaitu di bagian alat reproduksi secara ajaib menjadi batu di sekitar curug. Dahulu setiap bulan batu itu mengeluarkan air berwarna merah layaknya perempuan yang sedang menstruasi. Namun karena sudah tua, batu tidak lagi mengeluarkan cairan merah melainkan hanya air biasa bagian dari curug.

Diceritakan kembali oleh ali gufron

Asal Mula Desa Lontar

Desa Lontar yang berada di Kecamatan Kemiri, Kabupaten Tangerang, sebelum kemerdekaan termasuk dalam Kawedanaan Mauk. Setelah kemerdekaan ada program pemerintah memekarkan wilayah kota kecamatan dengan dibentuknya kantor perwakilan kecamatan Desa Lontar masuk ke dalam Kemantren Kemiri. Dan, baru pada tahun 2004 Kemantren Kemiri berubah status menjadi kecamatan dengan masih mengikutsertakan Desa Lontar ke dalam wilayahnya.

Sejarah panjang desa Lontar tidak hanya tercatat ketika menjadi bagian dari Kawedanaan Mauk saja. Berdasarkan tradisi lisan yang berkembang di sana, wilayah Lontar telah berpenghuni jauh sebelum penjajahan Belanda. Tanahnya yang subur dengan banyak ditumbuhi pepohonan lontar membuat banyak orang tertarik untuk menetap di sana.

Para penduduk yang berinteraksi menggunakan istilah “lontar” untuk menamai perkampungan mereka berdasarkan banyaknya pepohonan lontar yang tumbuh di sana. Mereka hidup rukun sebagai sebuah komunitas petani yang bergantung sepenuhnya pada alam dengan cara mengolahnya dalam bentuk pertanian lahan kering maupun basah.

Oleh karena semakin hari bertambah jumlah penduduknya, para pendatang baru kemudian menetap di bagian utara Lontar. Adalah Ki Latip yang pertama kali membuka hutan di sana untuk dijadikan lahan tempat tinggal. Orang-orang yang mengikuti jejaknya lantas memberi nama tempat itu Kampung Selatip sebagai penghormatan atas jasa Ki Latip.

Seiring berubahnya administrasi pemerintahan, kedua kampung disatukan dalam sebuah desa bernama Desa Lontar. Pada sekitar tahun 1978 Desa Lontar menambah satu kampung lagi karena adanya migrasi penduduk Selapajang Benda di sebelah timur Kabupaten Tangerang akibat ada pembangunan Bandara Soekarno-Hatta. Kampung baru ini dinamakan Pajang Kelapa Dua karena di tempat mereka bermukim terdapat dua buah pohon kelapa yang tumbuh sejajar di tengah areal persawahan. (gufron)

Pendekar Cisadane

(Cerita Rakyat Daerah Tangerang, Banten)

Alkisah, dahulu di sekitar aliran Sungai Cisadane banyak didiami oleh buaya yang salah satunya berukuran sangat besar. Dia adalah Ratu Siluman Buaya, makhluk sebangsa jin yang menyerupai buaya. Sang Ratu Buaya kerap mencelakai orang-orang yang sedang berada di sungai, terutama mereka yang bersikap tidak sopan atau mengganggu kelestarian lingkungan sekitar daerah aliran sungai.

Salah seorang korbannya adalah Sarif. Anak kepala dusun bernama Sanusi ini tiba-tiba menghilang saat sedang memancing di tepi sungai. Sang ayah beserta segenap warga dusun mencari hingga berhari-hari namun tidak juga menemukannya. Mereka akhirnya pasrah dan menganggap bahwa Sarif telah dimakan Ratu Siluman Buaya.

Sejak kejadian itu, warga di sekitar bantaran sungai menjadi lebih waspada. Mereka selalu cemas ketika beraktivitas di sungai seperti mandi, mencuci, dan lain sebagainya. Padahal, kehidupan sehari-hari warga masyarakat tak lepas dari sungai.

Begitu seterusnya, selama lebih dari lima tahun seluruh dusun dan desa di bantaran sungai selalu dibayangi ketakutan akan keberadaan Ratu Siluman Buaya hingga datanglah seorang pemuda bernama Aby. Pemuda berikat kepala ungu ini adalah seorang sakti mandraguna yang memiliki kekuatan luar biasa.

Sebelum bertindak, terlebih dahulu Sang pemuda melakukan observasi terhadap penduduk sekitar. Ditanyainya beberapa orang (termasuk Sanusi) yang dianggap mengetahui seluk beluk Ratu Siluman Buaya.

Dari keterangan warga Sang pemuda mengambil kesimpulan bahwa Ratu Siluman Buaya memang benar adanya. Sang Ratu Siluman Buaya rupanya mempengaruhi sisi psikologis mereka sehingga timbul kecemasan berlebih yang membuat takut beraktivitas di sungai. Mereka sangat membutuhkan bantuan agar terbebas dari kecemasan itu dan hidup tenteram seperti sediakala.

Segala keterangan tadi membawa Sang pemuda ke tepian sungai untuk membinasakan Ratu Siluman Buaya. Saat berada di sekitar sungai dia melihat ada seorang perempuan gemoy berparas cantik jelita sedang duduk termenung. Sang pemuda lalu mendatangi dan bertanya mengapa Sang perempuan termenung dan terlihat murung.

Sang perempuan terdiam beberapa saat sebelum menjawab bahwa dia sedang bersedih karena baru saja kehilangan anak semata wayang yang paling dikasihinya. Sambil terisak dia menceritakan kalau sang anak tiba-tiba tenggelam ketika sedang bermain di sungai dan sampai sekarang belum muncul ke permukaan.

Cerita yang disampaikan perempuan gemoy itu sebenarnya hanyalah karangan belakang. Sang perempuan bukanlah seorang manusia, melainkan Ratu Siluman Buaya yang sedang beralih wujud. Dia tahu kalau Sang pemuda sedang mencari dan ingin membinasakannya. Oleh karena itu, dia berusaha menyesatkan Sang pemuda agar terlena dan menjadi mangsanya.

Begitu juga dengan Sang pemuda. Dia sebenarnya tahu kalau Sang perempuan bukanlah seorang manusia. Dari aura yang memancar di tubuhnya jelas bahwa Sang Pemuda tahu kalau Sang perempuan berasal dari bangsa siluman. Dia sengaja meladeni permainan Ratu Siluman Buaya agar dapat menemukan tempat persembunyiannya.

Oleh karena itu, ketika perempuan jelmaan Ratu Siluman Buaya meminta tolong menemukan anaknya, Sang Pemuda menyanggupi. Dia lalu menyelam ke dasar sungai, tetapi baru beberapa menit mencari dia langsung tidak sadarkan diri.

Ketika siuman, Sang pemuda terkejut mengetahui dirinya telah berada di sebuah sel penjara di dalam gua bersama beberapa orang yang tidak dikenalnya. Pada bagian depan penjara terhampar harta benda berupa emas, intan, permata, dan pakaian yang tak ternilai harganya.

Melihat Sang pemuda telah siuman, salah seorang dari penghuni sel mendekat dan bertanya mengapa dia sampai tertangkap oleh Ratu Siluman Buaya. Apakah karena telah berlaku tidak sopan ketika berada di sungai? Atau ada hal lain yang membuat Ratu Siluman Buaya marah?

Sang pemuda menjawab bahwa dia memang sengaja datang ke tempat persembunyian Ratu Siluman Buaya. Adapun tujuannya adalah untuk menyelamatkan orang-orang yang telah ditenggelamkan oleh Sang Ratu.

Penjelasan tadi tentu disambut gembira oleh para tawanan. Namun, mereka juga memperingatkan pada Sang pemuda bahwa Ratu Siluman Buaya Sangatlah sakti. Bahkan, kesaktiannya semakin bertambah ketika dia menumbalkan tawanannya setiap bulan purnama. Selain itu, tumbal juga dapat membuat Ratu Siluman Buaya hidup abadi sepanjang masa.

Perbincangan antara para tawanan dengan Sang pemuda tiba-tiba terhenti ketika terdengar suara langkah kaki mendekat. Rupanya Sang Ratu Siluman Buaya datang untuk memeriksa keadaan para tawanan. Setelah berada tepat di depan sel dia meminta dengan agak memaksa Sang Pemuda ikut dengannya.

Mereka berjalan berkeliling gua sambil berbincang-bincang. Rupanya Sang Ratu Siluman Buaya menaruh hati pada Sang pemuda sehingga menceritakan asal usulnya sebagai penguasa buaya serta seluruh isi gua persembunyian yang merupakan istananya. Bahkan, saking kesengsemnya, Sang Ratu Siluman Buaya mau menceritakan rahasia bagaimana cara keluar dari gua persembunyian.

Informasi dari Ratu Siluman Buaya merupakan petunjuk berharga bagi Sang pemuda. Dia lalu mengatur rencana guna meloloskan diri bersama para tawanan tepat saat bulan purnama tiba. Sebab, saat itulah Ratu Siluman Buaya akan mengadakan semacam ritual guna menambah kesaktiannya. Dan, ketika mengadakan ritual Ratu Siluman Buaya akan melepaskan mustika yang merupakan pusat kesaktiannya.

Singkat cerita, tepat saat bulan Sang pemuda mengendap-endap mengambil mustika Ratu Siluman Buaya yang tengah melangsungkan ritual. Selanjutnya, bersama para tawanan melarikan diri menuju lorong rahasia yang diceritakan Ratu Siluman Buaya menuju suatu tempat di tepi sungai.

Sampai di mulut terowongan mereka kembali ke rumah masing-masing. Dan sejak saat itu daerah sekitar sungai tidak pernah diganggu lagi oleh Ratu Siluman Buaya karena mustika kesaktiannya telah dibawa Sang pemuda. Oleh masyarakat setempat dia kemudian digelari sebagai Pendekar Cisadane karena telah berjasa membuat daerah sekitar aliran Sungai Cisadane aman dari gangguan Ratu Siluman Buaya dan anak buahnya.

Diceritakan kembali oleh ali gufron
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive